Oleh : M. Eko Purwanto
Hampir dua minggu ini, HP Anto berdering nyaring. Sampai hapal di luar kepala, nomornya. Siapa lagi kalau bukan debt collector, yang setiap hari tanpa jemu, menagih tunggakan cicilan pinjamannya. Sudah dua bulan ini, Anto tidak menyisakan uang sepeserpun untuk memenuhi kewajiban, pada kartu kreditnya dan pinjamkan tanpa agunannya. Kapan pun dan dimanapun, Anto berada, debt collector tidak henti-hentinya menanyakan, “Kapan bapak bisa melunasi tagihan!”
Pengalaman Anto ini, menjadi cermin untuk kita renungkan bersama, bahwa dalam diri kita ada dua kehendak (keinginan), yang satu sama lain, saling bertolak belakang. Keinginan tersebut adalah keinginan menurut pikiran dan keinginan hati nurani (jiwa). Sementara, saya membatasi keinginan adalah sebagai suatu kecenderungan atau dorongan yang kuat atas apa yang akan kita lakukan untuk memenuhi kebutuhan, baik secara lahir maupun batin.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita dihadapkan oleh beribu-ribu keinginan. Menurut para pakar psikologi, keinginan manusia berbanding lurus dengan proses berfikirnya. Dalam sehari semalam, selama 24 jam, manusia mampu menghimpun keinginannya antara 60 ribu sampai dengan 65 ribu keinginan. Betapa banyaknya keinginan manusia tersebut? Pantas saja, manusia tidak pernah puas atas apa yang diinginkannya, karena keinginannya selalu berubah setiap detiknya.
Apakah kita tidak boleh memiliki keinginan? Tentu saja boleh-boleh saja. Keberadaan pikiran manusia, adalah untuk mengumbar keinginan, apa saja, untuk kemajuan kehidupan manusia itu sendiri. Dan eksistensi pikiran manusia juga, berguna untuk memilah dan memilih, mana keinginan yang sesuai untuk dirinya, sesuai untuk potensinya, sesuai untuk kemampuan pikirannya. Makanya ada ungkapan, bahwa Allah Swt, akan memberi cobaan kepada manusia, sesuai dengan kemampuannya. Artinya, manusia akan mengalami berbagai macam cobaan sesuai dengan akal pikirannya.
Apapun yang dipikirkan manusia adalah bentuk asli keinginannya. Sebagai contoh, seseorang berpikir sedih dan penderitaan, maka ia sebenarnya menginginkan kesedihan dan penderitaan itu datang kepadanya. Orang berpikir bahagia, gembira dan menyenangkan, pada hakekatnya ia menginginkan kebahagiaan, kegembiraan dan kesenangan. Seseorang berpikir tentang uang yang setiap bulan kurang, maka iapun sedang menginginkan kekurangan uang pada dirinya, setiap bulan. Jika ia berpikir tentang keberlimpahan uang setiap hari, maka hakekatnya ia menginginkan keberlimpahan harta setiap harinya.
Ngomong-ngomong tentang rezeki, masih banyak sebagian kita menganggap bahwa rezeki, kadang datang ke dalam hidup kita, dan kadang-kadang menjauh dari hidup kita. Maka kemudian persepsi kitapun menyimpulkan bahwa sholat Dhuhalah yang mampu menghadirkan rezeki. Bahkan selesai sholat dhuha, kita dianjurkan untuk membaca do’a kepada Allah Swt., untuk menghadirkan rezeki. Dalam pemahaman yang awam, okelah kita bisa merutinkan sholat dhuha, namun perlu kita maknai bahwa rezeki bukan dari sholat dhuhanya, rezeki tetap berasal dari allah Swt. Apakah rezeki bisa digunakan sebagai alat, untuk sementara bolehlah, tetapi untuk selanjutnya kita perlu mengkaji apapun yang kita lakukan di dunia ini, asalkan tetap untuk kebaikan dan kemaslahatan manusia, itupun juga alat untuk bisa menarik rezeki. Nah, kalau kita sudah paham sampai disini, pemahaman kita akan meningkat bahwa tidak ada hubungan langsung antara usaha dengan rezeki, kenapa begitu? Sampai disini, kalau sekiranya belum paham, mohon jangan dilanjutkan. Perlu ada referensi lain untuk melengkapinya agar tidak salah persepsi.
Banyak teman-teman langsung mendebat, ungkapan bahwa tidak ada hubungan langsung antara usaha atau ikhtiar dengan yang mana daripada rezeki. Mereka mengira usaha atau ikhtiar adalah awal dan akhir, dari kehadiran rezeki. Ketika mereka tidak sepaham dengan apa yang saya ucapkan, saya sangat’s kuatir akan muncul sikap menghakimi dan menilai salah-benar, sebelum argumen atau alasan rasional dimunculkan. Pada akhirnya, teman-teman yang sedikit bersabar untuk mendapatkan pemahaman, hanya manggut-manggut aja, tanpa komentar. Maklum saja, saya bukan ustadz atau kiayi, bahkan bukan pula akhli agama. Tapi, apa yang saya sampaikan ini cuma pengalaman hidup saya aja.
Sekedar berbagi pengetahuan, tidak kurang dan tidak lebih, bahwa untuk bisa paham atas usaha, ikhtiar dan rezeki, pertama-tama kita perlu memahami hakekat rezeki. Literatur keagamaan maupun pendapat para ahli agama Islam, menyebutkan bahwa Allah Swt. lah yang berkuasa atas rezeki manusia atau makhluknya. Jadi rezeki pada hakekatnya adalah berasal dari Allah, Tuhan kita. Rezeki bisa berwujud fisik (materi) dan bisa berwujud bukan materi. Sebagai contoh sederhana rezeki yang berwujud fisik, antara lain uang, mobil, rumah, tanah, kesehatan dan lain-lain. Kenapa kesehatan termasuk rezeki non fisik, karena sehat dan sakit itu ada dalam ranah jasmani alias fisik. Bahkan para ahli fisika kuantum mengungkapkan bahwa pikiran kita bersifat fisik (meski tidak bisa dilihat dengan kasat mata), karena pikiran masuk kategori energi (zat yang bergetar dan bergerak dari sebuah atom yang dikelilingi oleh proton, electron dan netron). Ketika kita berpikir, ada entitas (yang bersifat fisik) keluar dari sekujur tubuh kita, itulah energi. Semakin kita banyak berpikir, semakin berkurang energi dalam diri kita. Mekanisme kerjanya sama seperti Ha-Pe, ketika meng-SMS atau menelepon, ada energi yang keluar dari Ha-Pe kita itu. Bisa low bat, bo !. Bayangkan saja, jika proses berfikir ini dihubungkan dengan teori kekekalan energi (Newton) dan hukum tarik menarik energi (dimana pikiran positip akan menarik hal-hal yang bersifat positip. Dan sebaliknya, pikiran negatif akan menarik sesuatu yang negatip).
Sampai disini kira-kira pada ngerti nggak ya? Kalau belum, lanjutkan aja dulu membacanya. Jadi kita sedikit memahami, bahwa rezeki yang berwujud fisik begitu luas ruang lingkupnya, kata para ahli agama, seluas langit dan bumi, seluas alam semesta. Itu baru rezeki dalam bentuknya yang fisik. Sementara, pemahaman saya untuk rezeki yang non fisik antara lain hidup itu sendiri, kesempatan kita bisa mengalami kehidupan di muka bumi ini, adalah rezeki yang berwujud non fisik. Bener atau nggaknya, Tanya sama ahli tafsir agama. Para ahli sufi juga menegaskan bahwa rezeki, baik berwujud fisik maupun non fisik, ada pada hati nurani atau jiwa manusia. Bertawaqallah kepada Allah Swt, agar jiwa kita bersinar memancarkan rezeki dan nikmat yang tiada habis-habisnya.
Jadi jelas khan, pemahaman saya atas rezeki Allah Swt ? Nikmat Allah manalagi yang akan saya dustai? Kalau pemahaman saya tentang rezeki hanya melulu harta, tahta dan wanita (maklum saya laki-laki), alangkah sempit nikmat allah? Dari argumen di atas, saya bisa sedikit merangkum, bahwa rezeki adalah murni dari Allah Swt. Dan untuk mengenal Allah, maka kenalilah diri kita sendiri. Ketika kita mengenal Allah dalam diri kita yang paling dalam (hati nurani/jiwa), maka tidak ada yang mustahil bagi Allah, atas rezeki yang selalu eksis, bersama-sama diri kita, didalam diri kita semua. Sekali lagi, saya katakana, bahwa kita selalu hidup bersma rezeki yang sudah ada sejak kita lahir sampai hayat dikandung badan.
Jika kemudian muncul bertanyaan susulan, kalau memang benar rezeki itu sudah bersama-sama kita sejak lahir, kenapa ada yang kaya dan kenapa pula ada yang miskin? Menurut saya, pemahaman pertanyaan ini sangat’s lah dangkal. Karena rezeki manusia tidak hanya berupa fisik saja, tapi juga mencakup hal-hal yang bukan fisik (materi). Tapi kalau tokh kemudian kita menemukan ada orang yang pinter tapi miskin; ada orang bodoh tapi kaya; ada orang berpenghasilan pas-pasan, tapi punya isti lebih dari empat; ada seorang Ponari yang miskin dan belum selesai SD, dibutuhkan oleh ribuan orang; dan lain-lain.
Coba perhatikan atau teliti secara spiritual, bagaimana hubungan antara pikirannya dengan hati nurani (jiwa) nya ?. Pemahaman saya tentang fenomena-fenomena tersebut, mengatakan, bahwa tidak ada yang mustahil bagi Allah swt, ketika kita memahaminya dengan jiwa. Kalau saya memahaminya dengan pikiran rasional, pasti saya akan mengatakan itu semua bullshits, omong kosong, mustahil dan lain-lain. Pikiran saya mengatakan, mana ada orang pandai, miskin ?. Mana ada orang bodoh, bisa kaya? Mana ada orang semiskin Ponari, belum lulus SD lagi, bisa dibutuhkan orang se-Jawa Timur, gubernurnya aja kalah! Dan lain-lain.
Nah, sekarang coba kita analisa tentang usaha dan ikhtiar. Menurut pemahaman saya yang bukan ahli agama apalagi tahu tafsir Qur’an, bahwa usaha dan ikhtiar pada hakekatnya berbeda. Orang berusaha untuk hidupnya, berasal dari pikirannya yang rasional. Sementara, orang yang berikhtiar juga untuk hidupnya, berasal dari jiwa alias hati nuraninya. Berbedaan ini mengandung konsekuensi sunatullah, yaitu: Orang yang berusaha dengan pikirannya, kepentingannya adalah materi, pengen untung, pengen nggak rugi, pengen dipercaya, pengen dianggap sukses, pengen dihormati, pengen prestise dan lain-lain. Pikirannya mengatakan, bagaimana nanti aja ? pokonya, untung, nggak rugi, dipercaya orang, dianggap sukses, dihormati dan lain-lain.
Berbeda dengan orang yang berikhtiar. Tidak ada kepentingan yang bersifat fisik maupun non fisik, yang ada hanya tawaqal kepada Allah Swt, hidup dengan keberserahan diri kepada Allah Swt. Jiwa orang yang berikhtiar selalu berbisik, nanti bagaimana ?. Makanya bisikan ini menjadikan orang-orang yang berikhtiar selalu ikhlas terhadap apapun yang dilakukannya dan menyerahkan persoalan hidupnya kepada Allah swt. Jadi, coba kita bisa analisa fakta yang ada saja, bahwa ketika kita melihat orang berusaha (sebut saja berbisnis), ada yang untung dan ada yang bangkrut. Herannya lagi, orang yang bangkrut, justru modal usahanya milyaran, sementara orang yang untung, modalnya cuma jutaan rupiah saja. Mengapa hal ini terjadi, baca tulisan saya, Bisnis Identik dengan Keuntungan di KabarIndonesia!
Namun, bagi orang-orang yang ber-ikhtiar dengan tawaqal sebagai modal pokoknya, maka orang-orang ini tidak pernah dinyatakan bangkrut. Mengapa ? Ya, karena orang-orang yang berikhtiar tidak semata-mata mencari untung material atau non material, tidak takut rugi, tidak mencari prestise dan kehormatan lainnya, tidak kuatir dianggap bodoh, dan lain-lain. Orang-orang seperti ini akankah mengalami bangkrut ? Justru, jika kita memahami persoalan ini lebih dalam, maka apa yang sebenarnya diinginkan oleh setiap manusia di muka bumi ini, hanya akibat saja dari keberserahannya kepada yang Maha Sempurna, Allah Swt.
Lalu, apa dong, kesimpulan dari semua ini? Padahal awal tulisan ini mengisahkan kehidupan Anto, yang selalu ditagih hutang, sementara Anto sendiri nggak bisa melunasi hutangya? Jawabannya adalah dengan melahirkan pertanyaan lagi. Begini, siapa yang sedang bermain-main di dalam diri Anto, sekarang? Pikirannyakah atau Jiwanya? Lalu, siapa yang bertanggung jawab menyelesaikan masalahnya? Pikirannyakah atau Jiwanya? (Bekasi, 1 Maret 2009.Penulis adalah Staf Litbang YW Al Muhajirien Jakapermai, Bekasi)
Sumber :
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=19&jd=Rejeki,+Usaha+dan+Ikhtiar&dn=20090325232402
17 Mei 2009
Sumber Gambar:
http://ncc.blogsome.com/images/IbuibuPedagangPasarTerapung.jpg
0 comments:
Posting Komentar