oleh M. Sa'id
el-Asmawi
Negara-negara yang terdapat di Mesir, Irak, dan
sekitarnya pada masa lalu menunjukkan adanya hubungan yang unik, organik,
antara rakyat dan rajanya. Pada masa anta abad 6-2 sebelum masehi berdirilah
kota-kota yang mandiri di negara Yunani. Mereka disebut Polis. Seperti kota Athena, Asbarita,
dsb. Di kota-kota tersebut muncul pemikiran politis yang lebih mudahnya disebut
"State City". Karena saat itu belum ada
negara dengan pengertian seperti sekarang ini. Muncul pula pemahaman para
penduduk kota
tersebut, bahwa mereka sebagai wargakota. Dalam bahasa Yunani disebut sebagai
"Polieteia". Lalu pemahaman tersebut bergeser ke kota Roma. Maka lantas penduduk kota ini disebut sebagai
"Civitas Romana". Begitulah pemahaman kewargaan muncul di kota-kota
tersebut.
Pada abad pertengahan, setelah Kristen dan Islam
tersebar, pemahaman kewargaan dalam lingkup kota sebagai kesatuan politik-sosial-ekonomi
terhenti dan hilang. Diikuti dengan serangan dari barisan agama, yang kelak
menjadi dasar identitas inividu, dan penertiban hak & kewajiban. Maka
lantas tersebarlah Kristen di Eropa dan dipeluk oleh seluruh orang Eropa
kecuali beberapa kelompok Yahudi yang tersebar. Sementara Islam menjadi agama
seluruh kawasan Timur Tengah, kecuali beberapa kelompok Yahudi dan Kristen.
Dengan demikian keberadaan individu-individu baik yang di kawasan Islam atau
Kristen mulai terbatasi oleh identitas agamanya, sekiranya agama mereka menjadi
pengganti pemahaman kewargaan sebelumnya.
Seiring dengan perkembangan masa, kawasan Kristen
terbagi-bagi ke berbagai wilayah yang masing-masing memiliki pemimpin. Demikian
juga Islam, terpecah ke beberapa wilayah yang dipimpin seorang Amir, Wali, atau
Raja, dan semacamnya. Biasanya wilayah-wilayah ttersebut diberi nama sesuai
nama pemimpinnya. Seperti Ikhsyiyidiy dan Tholuniy di Mesir, Adarisa di Afrika
Utara, Sholihiyah di Yaman, dan sebagainya.
MASA PENCERAHAN
Setelah Eropa memasuki masa pencerahan, muncullah
beberapa kota
di jalan-jalan utama di berbagai wilayah. Mula-mula kota-kota tersebut
dinamakan "Burg" (yang berasal dari bahasa Arab "burj" =
Istana/benteng), karena pada dasarnya ia digunakan dengan arti hotel yang di
sekitarnya didirikan tempat-tempat belanja dan pemukiman. Dan kata
"Burg" ini sampai sekarang masih dipakai sebagai nama beberapa kota, misalnya Hamburg,
Betsburg, Hedlburg, dll. Penduduk kota-kota ini mempunyai keistimewaan
tersendiri. Mereka secara politik dan hukum, keberadaan mereka terlepas dari
pengaruh berbagai wilayah yang ada. Mereka ini disebut Burgoise (dari kata
"burg").
Pada masa-masa ini di dunia Islam belum diketahui
ada paham negara (daulah) atau pemerintahan (hukumah).
Dalam kamus-kamus kuna, tak ditemukan kata
"daulah" sama sekali. Yang ada hanya kata "duulah" dengan
arti sesuatu yang "beredar" antara beberapa orang. Sebagaimana kata
tersebut terdapa dalam ayat al-Qur'an "...laa yakuuna duulatan bainal
aghniyaa'i minkum" al-Hasyr: 59.
Dalam bahasa Arab kata "daulah"
mula-mula berarti beredar/berkelilingnya para raja di antara rakyatnya ditempat
tertentu. Kemudian mengalami pergeseran makna, sehingga dikatakan "daulatu
fulan" (daulahnya si polan), yang berarti sebuah masa atau tempat yang
menunjukkan adanya tanda-tanda kekuasaan. Setelah itu kata "daulah"
menjadi terjemahan kata Inggris "state", sehingga pada akhirnya
"daulah" berartikan seperti sekarang ini. Dan Lembaga Bahasa Arab
menetapkan kata tersebut dengan arti demikian tadi, yang akhirnya nampak dalam
kamus-kamus modern seperti al-Wasith dengan arti: segolongan manusia yang
menetap di sebuah wilayah terbatas, merdeka dengan undang-undang tertentu. Dan
lantas para penulis, dan cendekiawan, mengeneralisir pemakaian kata daulah
tersebut untuk menyebut semua wilayah sepanjang sejarah. Padahal kenyataannya
ada yang tidak sama, baik secara bentuk dan substansinya. Secara lahir tak
semua wilayah bisa selau disebut "daulah". Dan secara substansial
banyak wilayah yang tak memiliki aturan politik, ekonomi, sosial, dan
perundang-undangan tertentu. Dia tak lebih hanyalah merupakan kekuasaan politik
atas kelompok manusia, sementara mereka hidup sesuai kebiasaan dan tradisi
mereka.
KEKUASAAN DAN PEMERINTAHAN
Dengan demikian sebuah kekuasaan tak selamanya
bisa disebut pemerintahan. Apalagi pemerintahan politik ini menurut al-Qur'an
dan orang Arab diterjemahkan dengan kata "al-amr". Sementara kata
"al-hukm" sendiri dalam al-Qur'an mempunyai arti penyelesaian
persengketaan skala sempit. Hanyalah karena pengaruh Barat, kata "government"
diterjemahkan kedalam bahasa Arab dengan kata "hukumah". Sehingga
kata "hukumah" ini dipergunakan secara luas dengan arti "lembaga
administrasi yang menguasai urusan negara di bidang legislatif, ekskutif, dan
yudikatif." Oleh sebagian negara kata hukumah ini diganti denga "administration",
seperti di USA.
Sebagaimana kata "daulah", penggunaan kata "hukumah" ini
mengalami pengeneralisasian sepanjang sejarah, sejak awal Islam.Walaupun
wilayah-wilayah yang ada pada waktu itu tak selalu bisa disebut dengan hukumah.
Dengan begitu, berarti kenyataan sejarah selama
masa pertengahan belum mengenal paham daulah, hukumah, atau kewarganegaraan.
Yang dikenal hanyalah identitas, hak & kewajiban perorangan yang diatur
oleh agama dan wilayah masing-masing. Sehingga seorang muslim yang berada di
wilayah Islam mempunyai situasi dan kondisi yang berbeda dengan muslim yang
berada di wilayah Kristen. Dan begitu pula sebaliknya, seorang yang beragama
Kristen di wilayah Kristen berbeda situasi dan kondisinya dengan Kristiani di
wilayah Islam. Keberadaan mereka pada masa itu, mempunyai
hubungan/ketergantungan dengan pihak penguasa bukan dengan wilayah atau kota.
Sebelum pecahnya revolusi Perancis tahun 1789,
rakyat perancis terbagi ke dalam tiga bagian; kalangan agamawan, bangsawan, dan
orang awam. Mereka terbagi-bagi sesuai klasnya. Begitu pula badan legislatif
terbagi dan terwakili menurut tiga klas tersebut. Dengan pecahnya revolusi,
berakhir pulalah sistem klasifikasi tersebut, dan rakyat bergabung jadi satu.
Dengan begitu loyalitas mereka tertambat pada lembaga negara, Perancis. Dengan
ungkapan lain, Perancis adalah satu kota.
Keadaan Perancis seperti itu akhirnya mudah termasuki paham "State City"
yang sedang meluas di Yunani. Sehingga orang-orang Perancis saling menyebut di
antara mereka sebagai "Citoyen" dengan arti penduduk (terjemah kata
Yunani "Poliet", Latin "Civilis", dan Inggris
"Citizen"). Dari situ mulailah muncul, menurut istilah plitik dan
undang-undang, kata "kewarganegaraan" (muwathanah, terjemahan kata
Perancis "Citoyennete", Latin "Civilis", dan Inggris
"Citizenship"), yang mempunyai hubungan dengan lembaga negara -bukan
raja atau pemimpin- tak membeda-bedakan agama, jenis, warna kulit, dan
bahasanya. Sebuah hubungan yang diatur oleh dustur yang mengatur hak dan
kewajiban secara adil.
"KEWARGANEGARAAN" HASIL PEMIKIRAN MANUSIA
Dengan demikian konsep kewarganegaraan adalan
temuan manusia, yang diterapkan dalam dataran negara, yang membentuk hubungan
antara penduduk dan negara tanpa membeda-bedakan agama, jenis, ras, dan bahasa.
Hak dan kewajiban diatur oleh undang-undang yang ditegakkan oleh seluruh rakyat
melalui majlis-majlis dan lembaga-lembaga perwakilan.
Pada tahun 1923, muncul dustur pertamakali di
Mesir, dan di dunia Arab. Dengannya seluruh orang Mesir menyandang kebangsaan
Mesir, dan tidak lagi disebut rakyat Utsmani.
Melihat perjuangan orang Mesir pada masa 20-an
sampai 50-an membebaskan diri dari penjajahan Inggris, seorang politikus
Kristen Mesir (Makram Abid) mengatakan: "Mesir bukanlah sebuah negara yang
kita hidup di dalamnya, tapi ia adalah negara yang tumbuh di dalam hati
kita." Sebuah ungkapan patriotis yang dimaksudkan untuk menghilangkan
sekat penghalang antara kalangan Kristiani dan Muslim, karena mereka merupakan
satu generasi yang tumbuh dalam satu negara, sama meresakan pahit-getirnya
perjuangan melawan penjajah. Jelas, pernyataan itu tiada lain adalah bentuk
lain dari kata "muwathanah".
Berdasar pernyataan tersebut, seorang pemimpin
jamaah Islam Politik mengatakan: "Islam adalah negara". Ungkapan ini
berlawanan dengan paham "muwathanah", sesuai sejarah, politik, dan
undang-undang. Sebagaimana ia dimaksudkan untuk meletakkan konsep
"kewarganegaraan" di samping "ketaatan beragama" (tadayyun)
dalam pilihan yang tunggal, yang hanya mempunyai satu sisi. Dengan perkataan
lain, dua hal tersebut memang tidak bisa saling diperhadapkan. Dengan pemahaman
tunggal seperti itu, seorang yang taat beragama (mutadayyin) akan merasa
berkedudukan lebih tinggi di atas prinsip nasionalisme, dan bahkan mengingkari
prinsip itu. Dan sebaliknya kelompok nasionalis yang fanatik akan berlaku
lancang dan kurangajar terhadap kelompok mutadayyin, dan bahkan bisa jadi
kelancangan mereka menyentuh nilai-nilai ajaran agama. Sehingga akhirnya tak
ayal keadaan seperti itu memperuncing rasa permusuhan antara kedua kubu
tersebut.
Perlawanan antara negara dan agama (keyakinan),
dalam sejarah seringkali terjadi. Di Roma, pernah terjadi antara kelompok
berkayakinan "persaudaraan kemanusiaan" dan kelompok nasionalisme
Roma. Sampai-sampai, pada saat itu, Kaisarnya sendiri turun tangan melerai
pertarungan antara kedua kelompok tersebut. Kaisar Markos Orlios (memerintah
160-180 M) yang juga seorang failosof tersebut, mengatakan: "Umat manusia
keseluruhan adalah bersaudara. Yang baik-baik dan yang jelek, semuanya hamba
Tuhan.. Dan saya (sebagai Kaisar) Roma adalah negeriku, dan saya sebagai
manusia..negeriku adalah seantero dunia."
Dan pada masa sebelum runtuhnya Uni Soviet,
terjadi pertarungan antara Marxisme -yang berpendapat bahwa generasi kalangan
pekerja di penjuru dunia adalah saudara- dan pejuang nasionalis yang menganggap
sebagian marxist berkhianat terhadap negara.
Kedua contoh itu, yang pertama terjadi sebelum
menyebarnya agama Kristen, dan yang kedua pada zaman modern. Selain itu banyak
kasus yang bisa dibikin contoh.
Sedangkan kasus yang menunjukkan kecocokan antara
agama dan negara adalah yang terjadi di Jepang. Mayoritas penduduk Jepang
terbagi ke dua kelompok, pemeluk Shinto dan Buda. Begitu juga di Cina yang
sebagian besar penduduknya beragama Buda dan Konghucu.
Jika pada akhir abad 2 M, Kaisar Roma telah
berbuat bijaksana melerai pertempuran dua kecenderungan di wilayahnya, pun
demikian apa yang terjadi di beberapa bangsa; kesesuaian dan pendekatan antara
beberapa keyakinan. Mengapa sekarang kalangan gerakan Islam harus
mempertentangkan antara nasionalisme dan tadayyun!?
SYARI'AH TEMPATNYA DI HATI
Islam adalah syari'ah yang tak mempunyai tempat
lain kecuali hati. Adapun negara merupakan tempat langgeng yang dimukimi oleh
seseorang. Maka bagaimana Islam akan berubah menjadi tempat, bagaimana iman
berubah jadi tempat!? Padahal perbedaannya sangat jelas sekali. Iman bertempat
di hati dan nampak secara lahir pada amal perbuatan. Sementara tempat adalah
sesuatu yang ditempati/mukimi oleh seseorang!!
Berubahnya slogan "Islam adalah negara"
dari sekedar perasaan ke bentuk praktek nyata, akan berdampak pada penggantian
pengertian iman lalu menggeser pengertian negara.
Iman adalah perasaan umum. Ia merupakan
penampilan kepribadian universal. Jika ia dibatasi oleh tempat, maka akan
merubahnya menjadi materi, mejadikannya sebagai rasisme, dan ideologi.
Sedangkan negara adalah bentuk dan konsep,
meliputi manusia, geografi, sejarah, politik, dan fakta masa lalu dan masa yang
akan datang. Berubahnya agama menjadi materi, bentuk rasisme, atau aturan
ideologi, akan merusak seluruh bentuk dan konsep negara demi kepentingan
golongan, atau organisasi yang akan menggantikan konsep negara dan
kewarganegaraan.
Dengan begitu iman akan berubah bentuk secara
keseluruhan, negara akan rusak total, dan berakhirlah faham kewarganegaraan
dengan segala kaitannya. Loyalitas seseorang akan bertumpu pada organisasi
bukan kepada negara, kecenderungannya hanya pada seorang atau beberapa orang
saja bukan kepada seluruh bangsa, secara umum kepada seluruh umat manusia dan
kepada undang-undang khususnya. Yang dikhawatirkan berdampak pada munculnya
sistem apatride, dimana seseorang terbuang tak bernegara dan tak
berkewarganegaraan.
Dalam situasi kacau seperti itu, unsur-unsur
negara tak akan mungkin mampu menghadapi gempuran musuh dan melakukan
perlindungan terhadap penduduknya. Apalagi jika ditambah situasi
terpecah-belahnya kekuatan nasional. Situasi yang sangat kacau yang hanya akan
mempermudah kedatangan musuh siap menghancurkan.
0 comments:
Posting Komentar