Follow abeezain on Twitter

Bangkitlah Rupiahku



Saya masih ingat betul ketika Kakek bercerita pengalamannya beribadah haji di tanah suci, beliau berhaji sekitar tahun 70-an. Tidak banyak hal yang saya ingat tentang kisahnya, karena hampir setiap berkunjung kerumah Kakek, maka perjalanan rohaninya di tanah suci akan selalu diulang kembali. Yang saya ingat betul adalah ketika beliau bercerita tentang mahalnya ongkos taksi dari Aziziyah ke Masjidil Haram dan mahalnya teh susu di pinggiran masjidil Haram.

Terkadang memang membosankan, namun ternyata bermula dari kisah Kakek inilah cita-cita besar untuk menginjakkan kaki ke tanah suci menjadi harapan menggebu. Seusai tamat pendidikan SMK (STM) saya bekerja di sebuah perusahaan swasta, dengan gaji yang besar maka semakin besar pula cita-cita akan segera terwujud. Namun tidak semudah itu, ternyata perusahaan inipun bangkrut. sebuah perusahaan besar yang telah turut membangun Kota kelahiranku tercinta, ternyata turut goyah oleh persaingan global dan dampak krisis moneter.

Akhirnya sayapun melanjutkan study di kampus yang satu-satunya milik negara di tempat tinggalku. Pilihan ini atas pertimbangan biaya ringan dan semoga kualitasnya sebagai perguruan tinggi negeri satu-satunya turut menjadikan kampusku ini malu ketika tidak berkualitas, maka harapan akan segera melancong ke tanah suci inipun terpaksa ditunda, tabungan selama bekerja saya gunakan untuk kuliah.

Namun tak disangka, bahwa kesempatan untuk berjiarah ke Masjidil Haram terwujud selang 3 tahun keputusan saya untuk kuliah. Ya... sebuah kesempatan yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Menjadi Pramuka yang semua orang mencemooh dengan nyanyiannya "Pramuka-pramudi, Pramuka Belum Mandi" ternyata menjadi jalan bagiku untuk berangkat ke tanah suci. Berawal dari kesempatan open recruitment bagi petugas haji unsur TNI/POLRI dan Pramuka, yang memiliki kemampuan sebagaimana disyaratkan, akhirnya saya lulus dan mengikuti berbagai prosedur yang ada, singkat cerita sampailah di tanah suci.

Cerita di atas bukanlah inti dari tulisan asal yang saya buat. Tetapi sebuahnkenyataan yang membuatku ta'jub adalah, ketika saya mencoba menggunakan taksi dari Azijiyah menuju Masjidil haram lalumencicipi manisnya teh susu khas disana, ternyata harganya begitu mencengangkan. Saadzhabu illal Haram, bikam ya Muhammad?" pertanyaanku kepada sang supir (kalimat yang sudah saya hafal jauh hari sebelum keberangkanan, :) -red) "Realan" jawab sang supir. Begitupun ketika saya membeli teh susu "kam laban wa syai?" maka sang pelayan tokopun menjawab "realan". Saya ingat betul, ketika Kakek bercerita tentang tarif taksi dan teh susu pada tahun 70-an yang harganya 1 real, hal ini bertahan hingga saat saya berangkat ke Tanah Suci tahun 2008 akhir. Begitu pula dengan nilai tukar real yang berkisar Rp. 2.500,- s.d. Rp. 3.000,-

Luar biasa, sebuah pertanyaan sederhana bagi saya saat itu dan sekarang adalah, bagaimana mungkin Arab Saudi bisa mempertahankan nilai tukarnya dan harga barang yang begitu stabil?

Dengan stabilnya harga barang dan kebutuhan hidup, tentunya menjadikan pertumbuhan ekonomi terus meningkat. Tidak perlu lagi ada yang namanya pencabutan subsidi sehingga menjadikan merangkaknya harga, sebagai contoh pencabutan subsidi BBM, maka turut naiklah seluruh harga kebutuhan hidup. Hal ini terjadi memang karena mau tidak mau, ongkos transportasi akan turut meningkat, seiring meningkatnya ongkos transportasi, maka wajar jika harja jual produkpun terpengaruh.

Nilai inflasi yang terus melonjak, saya masih ingat ketika disuruh membeli beras oleh ibu waktu saya masih SD kelas 6, harganya hanya Rp. 700,-/Kg. Bereas dengan kualitas yang baik. Saya katakan berkualitas karena nasi tersebut dapat tahan 3-4 hari tidak basi. Tengoklah beras dengan harga yang bagus sekalipun, kualitasnya tidak seperti dulu, 1-2 hari sudah basi.

Begitulah kondisi negeri ini, ketika minyak tanah dicabut karena negara sudah tidak sanggup mensubsidi. Kenaikan harga begitu cepatnya, sehingga seolah tak berharga apa yang kita miliki saat ini. Tidak penting berapa kenaikan gaji pekerja setiap tahunnya karena inflasi akan jauh lebih besar seiring naiknya gaji para buruh. Semuanya seolah tidak ada jalan keluar guna mengatasi kemiskinan negara ini.

Sempat saya berfikir, kenapa Negara tidak mencetak uang sebanyak-banyaknya? Lalu bagikan saja kepada rakyat. Seperti APBN tahun ini yang mencapai 1400 Triliun, kenapa tidak dibagikan saja kepada 75 juta rakyat miskin, kenapa harus repot-repot disusun, dibagi dan dikelola untuk berbagai rencana Negara yang hasilnya tidak pernah terasakan oleh rakyat miskin (yang katanya sekarang berjumlah sekitar 75 jutaan). Dengan dibagikannya APBN kepada rakyat miskin (masing-masing mendapat + 18,6 jt) maka tinggal diterjunkan mahasiswa ataupun ekonom/entrepreneur handal untuk membantu mereka mengembangkan usaha kecil. satu tahun kemudian bereslah sudah, tidak ada yang namanya 75 juta rakyat miskin Indonesia.

ya... begitulah kalo pikiran lagi ngawur, asal-asalan, seolah sesederhana itu keadaannya. Pikiran ngawur ini muncul akibat keputusasaan yang membeku dan tak mungkin lagi dapat dicairkan oleh panasnya tantangan global.

Jangankan usaha kecil, perusahaan besar tepat saya bekerja lepas SMK dapat bangkrut. Perusahaan yang telah beriri puluhan tahun, denga aset gabungan yang dimiliki oleh Amerika dan Inggris. Kenapa bisa bangkrut?

Dari pertanyaan-pertanyaan yang anda temui sepanjang tulisan ngawur ini, akan saya ajak anda untuk memikirkan langkah strategis kedepan bagi kita sebagai individu, kelompok maupun Bangsa Indonesia secara umum.

Kenapa tidak ada langkah praktis untuk memulai dari diri kita sebagai individu, membiasakan diri hidup berhemat, menggunakan produk lokal, memilih berbelanja di tempat non kapitalis, ikut berusaha menstabilkan harga dengan menawar harga, mengurungkan niat membeli ketika harga dipatok naik oleh sang penjual.

Lalu ketika kita sebagai kelompok tertentu yang memiliki masa, maka sadarilah bahwa loyalitas bergantung pada kesejahteraan, maka bekerjasamalah agar hak-hak kesejahteraan tersebut terpenuhi, jangan mengalah pada keadaan, dimana kondisi pemasukan yang serba kekurangan, sedangkan di luar sana, harga kebutuhan akan terus naik, dan tak mungkin turun.

Hal inilah yang paling signifikan, yaitu ketika kita memiliki kekuasaan sentral atas pengelolaan ekonomi. Bagaimana mengendalikan laju inflasi? tentunya pemerintah harus tegas dalam standarisasi harga barang. Operasi pasar semestinya tidak hanya sekedar buah berita televisi dan media massa lainnya, semestinya apa yang dilakukan oleh Arab Saudi dapat kita contoh, ketika penjual telah menaikkan harga, menjual barang denga kualitas jelek, apalagi menjual barang kadaluarsa, maka tokonya kan langsung disegel dan tidak dapat lagi mendapat ijin berdagang dalam waktu tertentu.

Regulasi peraturan standarisasi harga tentunya diperlukan, walau memang akan berbeda pada daerah tertentu, namun tentunya dapat disesuaikan. Yang terpenting adalah tidak ada pihak yang dirugikan. Jangan sampai peraturan negara kita selalu saja mengarah kepada inflasi, seperti kenaikan BBM, atau cukai tembakau yang terus meningkat, kebijakan ekspor-impor. Semua peraturan seolah menjadikan harga barang terus naik. Ini harus di hentikan, dengan jalan standarisasi harga sebagaimana saya sebutkan di atas. Tentunya perilaku individu masyarakat perlu ikut mendukungnya.

Dan yang terakhir adlaah, keinginan terbesar ketika Rupiah bangkit dan terhormat. Bayangkan ketika $1 = Rp. 1. sungguh indah bukan, sehingga kita tidak perlu menghitung begitu banyaknya kebutuhan hidup, yang ketika didengar oleh orang asing yang awam nilai tukar rupiah akan menganggapnya tinggi, seperti UMR Kota Cirebon Rp. 1juta. Woow bukan, ketika 1 juta ini adalah $.
untuk itu, keinginan besar saya agar adanya devaluasi nilai rupiah sebagaimana yang pernah Presiden Sukarno lakukan dahulu untuk menghentikan inflasi besar-besaran. Ketika Rp. 10.000,- diubah menjadi Rp. 1, sungguh indah terdengar ketika $ 1 = Rp. 0,9.
Kenapa perlu adanya devaluasi? jelas seiring nilai rupiah yang tinggi, maka angka inflasi tidak akan lagi secepat saat ini. Ketika ongkos angkos menghendaki naik dari Rp. 1000 menjadi Rp. 1500, kenaikan 500 angka luar biasa besar, namun karena nilainya yang dianggap kecil  maka angka-angka ini seolah tak berguna atau biasa saja. Sekarang ketika nilai rupiah 1000 menjadi 1 sen, maka kenaikanpun tidak akan begitu signifikan, dan pengendaliannyapun akan lebih mudah saya fikir.

ketika rupiah sudah bangkit, untuk membeli sebuah mobil tidak perlu kita membawa koper, tidak perlu juga para akuntan lelah menghitung nominal angka nol yang begitu banyak, disamping harpan besarnya adalah, meredanya peningkatan inflasi yang tak terbendung.
Namun sayangnya, hal ini hanya dpat saya lakukan ketika saya menjadi seorang bos besar (Gubernur) di Bank Indonesia. Lewat tulisan ini, saya mengajak kepada semua untuk sadar bahwa kitapun sesungguhnya turut menentukan angka inflasi, cerdaslah sebagai konsumen, dan proporsionallah menjadi produsen. Sehingga Rupiah kita semakin berarti, Rupiah kita semakin dicintai, maka bangkitlah rupiahku.

Sumber Gambar: http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/c/ce/Rupiah.jpg

0 comments:

related post